Senin, 05 Desember 2011

As Buton


Sebagaimana dipahami, jalan memiliki fungsi yang sangat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat. Jalan memegang peranan penting perekonomian suatu daerah terutama untuk mendistribusikan barang dan jasa antar wilayah. Mobilitas penduduk sangat ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur jalan. Isolasi dan ketertinggalan suatu wilayah biasanya disebabkan minimnya akses pra sarana jalan yang otomatis menghambat berkembangnya daerah tersebut.

Kondisi objektif keuangan pemerintah daerah tidak mampu membiayaai pembangunan infrastruktur jalan secara menyeluruh dan berkualitas. Sebagian besar pemerintah daerah menggunakan hampir 70 % lebih APBD untuk membiayai pengeluaran rutin. Sisanya baru dipergunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan di daerah.

_

Akibatnya anggaran yang dialokasikan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan jalan semakin terbatas. Bahkan, anggaran yang ada hanya mampu memelihara jalan yang sudah ada, sementara pembangunan jalan baru sulit untuk dilaksanakan.

Fluktuasi harga-harga material bahan pembangunan jalan semakin menambah berat program perbaikan jalan di Indonesia. Salah satu material komponen utama pembangunan jalan di Indonesia adalah aspal minyak. Sebagai produk turunan dari minyak bumi, harga aspal minyak sangat tergantung dari fluktuasi produk tersebut di pasaran internasional. Sebagaimana yang pernah di tahun 2008 lalu di mana harga minyak dunia naik hingga sampai 160 US$. Akibatnya harga aspal minyak juga turut terdongkrak menyesuaikan kenaikan harga minyak di pasaran internasional.

Di lain sisi, PT. Pertamina sebagai satu-satunya produsen minyak nasional akan segera menghentikan produksi aspal minyak. Hal ini dikarenakan bahan baku aspal tersebut diproses lebih lanjut menjadi MFO yang harga jualnya lebih tinggi 20% dipasar internasional. Akibatnya Indonesia terpaksa mengimpor 100% aspal minyak dari berbagai negara produsen minyak dunia.

Kebijakan impor aspal minyak sesungguhnya sangat bertentangan dengan kepentingan nasional karena menciptakan ketergantungan terhadap produk dari negara lain. Selain itu untuk mengimpor produk dari negara lain sama artinya dengan membelanjakan devisa yang pada akhirnya dapat menimbulkan defisit neraca perdagangan Indonesia.

Sesungguhnya Indonesia memiliki produk aspal buton yang dapat menggantikan pemakaian aspal minyak. Selain kualitasnya yang tinggi, harganya yang lebih murah, aplikasinya telah dapat dipergunakan untuk semua jenis perkerasan jalan di Indonesia.

Pemanfaatan aspal buton untuk pembangunan jalan di Indonesia dengan sendirinya akan mendorong pertumbuhan industri aspal nasional. Kebutuhan aspal nasional sebesar 1,2 juta ton setiap tahunnya dapat dipenuhi oleh aspal buton yang jumlah cadangannya masih sangat besar. Potensi cadangan aspal buton sebesar 650 juta ton dapat mencukupi kebutuhan perbaikan seluruh ruas jalan yang ada di seluruh wilayah Indonesia.

Jadi seharusnya tidak ada satu jengkal pun jalan di Indonesia yang rusak akibat keterbatasan anggaran untuk membiayai akibat tingginya harga aspal minyak impor.

Persoalannya sekarang tinggal sejauh mana keberpihakan pemerintah untuk memanfaatkan produk asli Indonesia tersebut dibandingkan produk impor.

Kehebatan Aspal Buton

Aspal alam hanya ditemukan di dua tempat di dunia ini, yaitu Trinidad dan di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Keberadaan sumber tambang ini telah diketahui pada 1920, tetapi tak tergali dengan baik. Inovasi lalu dilakukan untuk mengolahnya secara efisien hingga mampu menyaingi aspal dari minyak bumi yang mulai langka dan mahal.


Aspal merupakan salah satu material penting dalam pembuatan jalan di Indonesia. Namun, karena kelemahannya, yaitu mudah hancur akibat beban berat dan panas matahari serta genangan banjir, mendorong pihak pengelola menggunakan beton berangka besi. Padahal, beton relatif lebih mahal serta sulit pengerjaan dan perbaikannya.

Di antara dua material itu ada aspal alam yang lebih optimal dibandingkan keduanya. Aspal alam yang dikenal di dunia saat ini adalah Trinidad Lake Asphalt (TLA). Padahal, selain dari Pulau Trinidad di Laut Karibia itu ada aspal alam di Pulau Buton (Asbuton) yang sesungguhnya lebih unggul.

Dari segi cadangan, Asbuton jauh lebih besar dari TLA. Cadangannya mencapai 163,9 juta ton. Bahkan, perkiraan lain menyebutkan 450 juta ton, berarti tergolong terbesar di dunia. Usia pemanfaatan cadangannya ditaksir 200 tahun ke depan.

Meski kandungan aspal masih melimpah, sejak 1970-an, tambang ini mulai ditinggalkan karena tingginya biaya operasi yang tidak lagi sebanding dengan pendapatannya.

”Masalah sesungguhnya karena penerapan teknik ekstraksi atau pemurnian konvensional yang tak efisien,” kata Lisminto, penemu teknik baru pemurnian aspal Buton.

Dipisahkan

Pada proses lama, bitumen aspal lebih dulu dilarutkan dalam pelarut organik, lalu dipisahkan dari unsur pelarutnya dengan cara destilasi.

Dengan cara ini sulit menarik bitumen atau material aspal yang tersembunyi dalam matrik batuan induk. Karena itu, diperlukan ekstraktor bertahap banyak. Ini artinya perlu investasi besar.

Lisminto, lulusan S-1 Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, berhasil menemukan teknik baru. Pada teknik baru itu, pelarutan aspal menggunakan kimia khusus dan proses pemurnian dilakukan dalam media air laut.

Saat batuan induk pecah, bitumen akan keluar dengan sendirinya dan mengapung di air asin. Karena itu, bitumen dengan mudah dapat dipisahkan dari larutan. Proses ini dilakukan pada suhu dan tekanan atmosfer sehingga memperkecil terjadinya pembakaran material. Sederhana, mudah, dan murah, itulah kelebihan teknik yang disebutnya ”pemurnian aspal Buton dengan teknologi ekstraksi terbalik”.

Inovasi ini sesungguhnya bukan lagi tergolong baru karena telah dipatenkan di lembaga paten Indonesia, Jepang, dan Australia pada 1996.

Aplikasi teknik ini, menurut dia, bisa menghemat devisa 75 juta dollar AS karena investasi total hanya 25 juta dollar AS dengan fabrikasi di dalam negeri. Sementara teknologi lain bisa mencapai 100 juta dollar AS.

Penggunaan sumber tambang di dalam negeri juga dapat menekan impor aspal sebesar satu juta ton per tahun sehingga tercipta swasembada aspal nasional. Sebab, teknologi ekstraksi terbalik ini dapat menghasilkan aspal berkualitas tinggi dengan harga terjangkau.

Hal ini memungkinkan jaringan jalan kelas satu sebagai infrastruktur industri juga berkembang. Dan, terbukanya industri di Buton akan membuka lapangan kerja penduduk sekitar.

Hasil samping

Meski inovasi itu memiliki prospek bisnis dan sosial yang baik, rupanya kemudian kurang mendapat sambutan pemerintah dan perusahaan pertambangan. Hal ini tak membuatnya patah semangat. Secara konsisten, Lisminto terus berkutat dengan riset aspal hingga pengembangan pabrik.

Pabrik percontohan berkapasitas satu ton per jam berhasil dibangun dengan dana Rp 200 juta. Produknya telah diuji Puslitbang Jalan Binamarga dan dinyatakan sebagai aspal bermutu. Uji laboratorium dan uji lapangan menunjukkan, sifat produknya setara dengan Trinidad Lake Asphalt.

Teknologi proses ini bahkan menghasilkan produk samping yang sangat potensial, yaitu gipsum dan karbon dioksida. Gipsum adalah bahan baku semen yang masih diimpor 2 juta ton per tahun. Adapun oksida karbon dapat dikonversi menjadi es kering guna mengawetkan ikan. Dari setiap ton produk aspal itu dihasilkan 1,45 ton gipsum dan 0,47 ton es kering.

Pengembangan baru

Melalui pengembangan aspal yang terus-menerus sejak 15 tahun lalu di laboratorium dan pabrik yang dijuluki ”Rumah Teknologi Aspal”, berhasil diatasi lima masalah yang ditemukan pada aspal Buton yang dibuat selama ini, yaitu soal adesivitas, kesulitannya dalam pengolahan, pemadatan, fleksibilitas, dan hambatan distribusinya.

Hasil olahan aspal Buton terbaru ini diberi nama BNA (Buton Natural Asphalt), yang didesain sebagai ”cloning” TLA.

Produk ini kemudian mulai menarik perusahaan lain untuk bermitra, antara lain Adhi Jaya, Pertamina, dan PT Timah (Persero).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar